Sabtu, 28 Desember 2013

KORUPSI DAN NASIB APES


KOMPAS.com - BEBERAPA hari yang lalu, ramai diberitakan Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Ketua MK Akil Mochtar diduga menerima suap Rp 3 miliar untuk penyelesaian kasus pilkada. Jika hal itu benar dan terbukti di pengadilan, angka Rp 3 miliar untuk sekaliber Ketua MK berarti tidak mahal. Murah. Ya, Rp 3 miliar jumlah yang sangat kecil bagi pembeli keadilan yang akan meraup keuntungan puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah jika mampu menjadi kepala daerah.

Kasus ini hanyalah contoh sangat remeh dan tidak bermartabatnya ”pendekar hukum” di negeri ini. Siapa berani menjamin Akil satu-satunya penegak hukum paling kotor?

Di republik ini, persoalan korupsi lebih dipahami secara teknis, bukan etis. Karena itu, jika ada penyelenggara negara yang korupsi dan tertangkap, ia bisa disebut sedang ”apes”.

Betapa parah peradaban bangsa ini jika pemberantasan korupsi lebih berurusan dengan soal teknis dan bukan etis. Problem teknis dikaitkan dengan malang- mujurnya ”nasib” koruptor.

Korupsi pun bisa tereduksi jadi problem kejahatan mistis. Apes dan mujur menjadi idiom semiotiknya. Hal ini persis dengan pemahaman klasik jagat permalingan dalam masyarakat tradisional yang relatif tidak mengenal sistem pemberantasan pencurian.

Jika ada maling ditangkap, ucapan yang muncul biasanya berupa permakluman, ”Ya, maling itu sedang apes saja. Bayangkan jika tidak apes, semua harta orang bisa digaruk!”

Analoginya, jika kenyataan buram itu yang terjadi, kita bisa menyimpulkan betapa sangat tidak amannya negeri ini dari ancaman koruptor. Juga, betapa minimnya kekuatan lembaga penegak hukum kita. KPK cenderung bermain sendirian. Ketika jumlah koruptor mengalami ledakan yang spektakuler di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, KPK pun akan terkucil, menggigil kesepian.

Ditangkapnya Akil Mochtar menunjukkan virus korupsi telah bersarang di kepala, jantung, hati, paru-paru, dan sel-sel darah bangsa ini. Virus atau bakteri yang menyebar dan meruyak di organ-organ penting negara ini sangat berpotensi mempercepat pembusukan tubuh bangsa.
Hancurnya kebanggaan

Mantan Ketua MK Mahfud MD bilang, gaji Akil Mohtar sekitar Rp 100 juta.Take home pay itu dihitung dari gaji pokok hingga berbagai uang tunjangannya. Menjadi sangat mengherankan jika dengan gaji sebesar itu, Akil Mochtar masih ngompreng.

Fenomena Akil Mochtar menunjukkan: korupsi bukan hanya soal uang, melainkan juga mental ”selalu kurang dan tidak pernah puas”. Pengidap kemiskinan mental-spiritual seperti itu bukan hanya tidak memiliki rasa syukur, melainkan juga mengalami sindroma ”bisa menelan dunia”. Orang macam ini merasa perutnya seluas alam raya. Ia tidak punya konsep berpikir bahwa dalam dunia ini juga perlu ruang hidup bagi orang lain atau liyan (the others). Maka ketika mendapat posisi dan jabatan, orang macam itu tidak berpikir untuk mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan.

Egoisme yang besar, keras, dan keji telah meluluhlantakkan martabatnya. Kedudukan, jabatan, atau peran sosial tidak dipahami dan dihayati sebagai pencapaian nilai yang membanggakan dirinya. Orang dengan ambisi kekuasaan yang nggegirisi macam ini tidak lagi memiliki obsesi menjadi orang baik (minimal) dan orang besar (maksimal). Ukuran orang baik bisa sangat sederhana: keberadaannya bermakna bagi publik. Ukuran orang besar pun bisa dirumuskan secara bersahaja, yakni peran sosial dan kultural yang dilandasi etik/ etos dan memberi kontribusi penting bagi peradaban bangsa.

Para penegak hukum, para politisi, dan para penyelenggara pemerintahan yang sering mengaku sebagai negarawan itu mestinya punya obsesi jadi orang besar. Jika tidak mampu mencapainya, minimal menjadi orang baik.

Namun, sangat sulit menjadi (dan mencari) orang baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kebaikan hanya berhenti pada jagat simbol, seperti tampak pada jargon-jargon yang menggelikan: bersih, peduli dan santun (tapi ya tetap nyolong).

Referensi : Kompas.com

SELIHAI-LIHAINYA KORUPTOR SEMBUNYIKAN HARTA....


KOMPAS.com — Sepandai-pandai aktor beraksi dan berakting, pasti salah juga. Selihai-lihainya koruptor mencuci uang, pasti terdeteksi juga. Mulai dari pejabat Kantor Pajak Bahasyim Assifie yang mencuci uangnya dengan berinvestasi dalam berbagai produk reksadana hingga Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar melalui perusahaan yang bergerak di bidang jasa, semuanya terkuak.

Tonggak penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi mulai terpancang sejak kasus Bahasyim tahun 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun-tahun sebelumnya, UU TPPU bisa dibilang tidur nyenyak alias tidak pernah digunakan.

Setelah kasus Bahasyim, pasal TPPU makin kerap digunakan. Apalagi, pada tahun yang sama, terbit UU No 8/2010 sebagai penyempurnaan dari UU No 24/2003 dan UU No 15/2002 tentang TPPU. Dalam UU No 8/2010, pihak yang bisa menyidik perkara TPPU diperluas.

UU ini juga lebih gamblang mengatur asas pembuktian terbalik. Dalam TPPU, beban pembuktian bukan berada pada penegak hukum, melainkan pada terdakwa. Jika terdakwa tidak bisa menjelaskan asal-usul harta kekayaannya secara logis, patut diduga kekayaannya berasal dari hasil korupsi.

Dari berbagai kasus pencucian uang, secara umum pelaku memakai tiga modus, yakni penempatan (placement), transaksi berlapis-lapis (layering), dan penggabungan dengan bisnis sah (integration). Indikasi pencucian uang lainnya adalah tidak memasukkan aset itu ke dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

Ada beberapa placement dalam pencucian uang, antara lain menyimpan uang dalam rekening bank, menyimpan barang berharga dalam safe deposit box, serta membeli properti atau mobil mewah mengatasnamakan orang lain.

Dalam layering, koruptor biasanya melakukan transfer, penarikan, pemindahbukuan dengan frekuensi tinggi dan berulang-ulang agar hasil korupsi tidak mudah terlacak.

Dalam integration, hasil korupsi ditanamkan atau diinvestasikan dalam perusahaan atau bisnis sah dengan tujuan hasil kekayaannya seolah-olah berasal dari sumber yang halal.

Untuk kasus Bahasyim, modus yang digunakan placement, layering, danintegration sekaligus. Mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh tersebut menaruh dananya ke dalam sejumlah rekening atas nama istri dan dua anaknya. Uang lalu ditransfer dan diputar-putar di antara rekening-rekening itu hingga transaksinya mencapai 304 kali dengan nilai Rp 885 miliar.

Bahasyim juga menaruh dana dalam sejumlah reksadana. Total kekayaan Bahasyim mencapai Rp 60 miliar, jauh di atas pendapatannya sebagai pegawai Pajak. Bahasyim yang terjerat kasus gratifikasi ini dijerat dengan Pasal 3 Huruf a UU No 25/2003 jo UU No 15/2002.

Tahun 2011, tercatat dua kasus pencucian uang atas nama Gayus HP Tambunan dan Malinda Dee. Gayus, pegawai pajak yang saat itu berusia 32 tahun, kedapatan menyimpan lembaran uang senilai 659.800 dollar Australia dan 9,68 juta dollar Singapura dalam safe deposit box. Selain uang, juga ada 31 keping logam mulia yang masing-masing seberat 100 gram. Pegawai pajak golongan III yang terjerat dalam kasus gratifikasi dan pemeriksaan pajak PT Surya Alam Tunggal ini dikenakan Pasal 3 Ayat 1 UU No 25/2003 karena menempatkan (placing) uang yang diduga berasal dari korupsi.

Adapun Malinda melakukan layering dengan membukukan 117 transaksi senilai Rp 27 miliar dan 2 juta dollar AS. Layering dilakukan dengan menggunakan rekening suami, adik kandung, dan adik ipar. Mantan Relationship Manager Citibank ini juga melakukan integration dengan menempatkan uang di perusahaannya, yakni PT Exclusive Jaya Perkasa.

Lebih canggih

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Mantan Kakorlantas Mabes Polri Irjen Pol Djoko Susilo (dua kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (3/9/2013). Djoko Susilo divonis 18 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korlantas Mabes Polri.


Selanjutnya, tahun 2012, kasus pencucian uang dilakukan dua pegawai pajak, yakni Dhana Widyatmika dan Herly Isdiharsono, dengan modus yang cukup canggih. Lelaki yang saat itu berumur 38 tahun ini melakukan placement dengan berinvestasi pada reksadana. Ia juga membeli tanah dan properti senilai puluhan miliar, membeli logam mulia seberat 1.100 gram, dan menyimpan dana Rp 11,4 miliar dan 302.189 dollar AS.

Modus integrationdilakukannya dengan membeli properti bekerja sama dengan PT Bangun Persada Semesta dan kendaraan roda empat yang disembunyikan dengan cara seolah-olah sebagai barang dagangan PT Mitra Modern Mobilindo 88 yang didirikannya.

Puncak penerapan pasal pencucian uang sejauh ini terjadi tahun 2013. Sejumlah nama besar yang terjerat kasus korupsi, seperti Irjen Djoko Susilo dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, dikenakan pasal pencucian uang. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga dikenakan pasal pencucian uang dalam proses penyidikan oleh KPK saat ini.

Djoko yang terjerat kasus pengadaan simulator memiliki kekayaan senilai Rp 54,6 miliar dan 60.000 dollar AS selama kurun 2003-2010, yang diduga berasal dari korupsi. Adapun selama kurun 2010-2012, mantan Kepala Korlantas Polri itu telah membeli aset sebesar Rp 63,7 miliar yang diduga juga berasal dari hasil korupsi. Modus yang digunakan Djoko kebanyakanplacement dengan membeli rumah dan tanah.

Kasus Luthfi dan teman dekatnya, Ahmad Fathanah, kini tengah bergulir di pengadilan. Luthfi didakwa melanggar Pasal 3 dan 5 UU No 8/2010 karena menerima dan memberikan dana yang diduga berasal dari hasil korupsi. Modus yang dilakukan Luthfi adalah membeli mobil, rumah, dan tanah atas nama orang lain.

Yang paling hangat tentu dugaan pencucian uang Akil Mochtar. Meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang, KPK telah mengungkapkan sejumlah indikasi pencucian uang.

Akil diduga mencuci uang dari hasil yang diduga korupsi terkait penanganan sengketa pilkada di MK. Pencucian uang tersebut melalui perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa yang berlokasi di Pontianak, Kalimantan Barat.

CV RS adalah perusahaan yang diduga menjadi tempat pencucian uang Akil. Badan usaha itu dimiliki istri Akil, Ratu Rita. Jumlah aliran dana yang masuk ke dua rekening bank BUMN atas nama CV RS mencapai Rp 100 miliar.

Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, PPATK bisa melacak dan mendeteksi modus pencucian uang yang dilakukan koruptor. Peluang koruptor mencuci uangnya bakal lebih terbatas jika RUU transaksi tunai disahkan. Dalam RUU ini, transaksi tunai akan dibatasi agar koruptor tidak mudah melakukan placement.


KORUPSI DAN JANJI PALSU SANGAT DIBENCI


KOMPAS.com -  Kata korupsi dan janji palsu terasa begitu melekat. Dua kata itu menjadi jawaban spontan ketika generasi muda sekarang ditanya, ”Apa persepsimu tentang anggota DPR?”

Dua kata itu menjadi keprihatinan dalam perjalanan persiapan Pemilu 2014 pada sebuah diskusi tertutup yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa hari lalu.

Masalahnya, sekitar 60 juta pemilih pemula, entah mereka yang tergolong muda dan pernah mengikuti pada periode lima tahunan sebelumnya atau baru pertama kalinya, akan berperan serta menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.

Potret buram jawaban ”korupsi” dan ”janji palsu” tersebut ditekankan oleh pengamat politik J Kristiadi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Tantangan terbesar Pemilu 2014 adalah mengajak generasi muda untuk ikut menentukan wakil rakyat maupun pemimpin bangsa ini dengan menggunakan hak pilihnya.

”Kemenangan dalam setiap pemilu harus dilihat hasilnya. Mulai dari menghasilkan elite, kekuatan politik, hingga kebijakan yang menguntungkan rakyat. Bukan keuntungan sesaat pada saat kampanye,” ujar Kristiadi.

Apabila dimaknai secara positif jawaban-jawaban generasi muda tersebut, sebagian rakyat, terutama kalangan muda, sesungguhnya belakangan ini sudah mulai terjun langsung ke dunia politik untuk memberi warna perubahan. Mereka sudah jenuh terhadap realitas tertangkapnya pelaku-pelaku suap dan koruptor, serta muak dengan janji-janji palsu calon anggota legislatif maupun calon presiden terdahulu.

Namun, jika dimaknai secara negatif, bermunculanlah sikap apatis dan pesimistis pemilih pemula terhadap masa depan bangsa ini.

”Buat apa mengikuti proses pencoblosan di bilik suara kalau hasilnya tidak memengaruhi kehidupan pemilih pemula? Hasilnya, bahasa orang mudanya, pemilu enggak ngefek bagi kita,” kata Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Ada kekhawatiran, sebagaimana diungkapkan Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri Lutfi, militansi yang tinggi dari kalangan mahasiswa bakal luluh lantak.

”Keputusan memilih untuk tidak memilih kini juga dipandang menjadi sikap keren bagi kaum muda di era keterbukaan demokrasi. Butuh opini publik yang lebih baik untuk mendorong kaum muda memanfaatkan hak politiknya,” ujar Lutfi.

Banyak persoalan

Persoalan lain, peta permasalahan Pemilu 2014 terungkap begitu banyak. Dari setiap tahapan awal pemilu, kini masalah daftar pemilih tetap (DPT) sedang mengemuka. Namun, ada apresiasi atas kemauan politik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terus berupaya memutakhirkan data.

Tak sedikit, relasi KPU dan Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, juga menjadi salah satu masalah. Begitu pula problematik anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 yang sangat rawan, mulai dari persetujuan besaran anggarannya yang mencapai Rp 17 triliun hingga pencairan yang dikhawatirkan terlambat dilakukan pemerintah. Peta kerawanan konflik dan keamanan distribusi logistik pun menjadi kekhawatiran.

Tak heran, sempat terungkap dalam diskusi tentang cuplikan kisah kampanye Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Dalam blusukan ke sebuah pasar di Semarang, Ganjar sempat berjabatan tangan dengan banyak pedagang. Lalu kasak-kusuk disebut, jabatan tangannya tanpa disertai grenjelan atau uang sedikit pun sebagai salam tempel.

Namun, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut dengan cerdas membuka wawasan rakyat yang diharapkan menjadi pemilihnya. Bisa saja, misalnya, saat itu Ganjar memberikan uang Rp 100.000 kepada setiap pedagang. Tentu, uang ratusan juta rupiah sudah digulirkan. Lalu, suara rakyat direbut untuk menduduki kursi jabatan gubernur. Namun, sejak saat itulah hubungan pemimpin dan rakyatnya putus.

Kelak, jangan lagi berharap ada anggaran pemeliharaan dan penataan pasar yang lebih baik karena semua yang diharapkan rakyat sudah dibayar di muka saat itu.

Pemilih kian rasional. Calon anggota legislatif maupun calon presiden bersainglah secara cerdas. Pilihan bentuk kampanye cerdas berada di setiap caleg dan capres.

Ingatlah, janji-janji palsu sangat dibenci pemilih. Ingat pula, calon-calon yang pernah korupsi pun sangat mungkin terlacak oleh pemilih. (Stefanus Osa)

Referensi : Kompas.com

7 ANGGOTA DPR KORUPTOR MASIH DAPAT DANA PENSIUN


JAKARTA, KOMPAS.com — Dari dalam sel penjara, para anggota DPR yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi ternyata masih mendapatkan dana pensiun. Dana pensiun itu didapat jika mantan anggota Dewan itu diganti atau mengundurkan diri. 

Demikian diakui Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) Siswono Yudo Husodo saat dihubungi, Rabu (6/11/2013). ”Kalau seseorang diberhentikan tidak dengan hormat, atau tersangkut pelanggaran etik berat, korupsi, maka tidak dapat dana pensiun. Tapi kalau mengundurkan diri tetap dapat dana pensiun. Tapi yang jadi masalah adalah anggota DPR terlibat etika berat, diproses di BK sambil menunggu vonis, yang bersangkutan mundur, tetap dapat,” ujar Siswono. 

Hingga kini, Siswono mengaku ada tujuh orang anggota Dewan yang terlibat kasus korupsi dan masih menerima dana pensiun. Mereka mendapat dana pensiun karena sudah mundur terlebih dulu sebelum ada sanksi yang dijatuhkan BK ataupun fraksinya. Siapa saja mereka? 

”Nazaruddin dan Wa Ode. Sisanya, enggak enak saya,” ungkap Siswono. 

Dana pensiun bagi anggota Dewan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. 

Selain itu, uang pensiun itu juga diberikan kepada anggota Dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Hal tersebut diatur dalam UU MPR DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75 persen dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR. Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan seorang anggota DPR. 

Sementara itu, untuk gaji pokok anggota DPR sendiri bervariasi dengan nilai minimal Rp 4,2 juta. Semakin lama seorang wakil rakyat menjabat, maka gaji pokok mereka akan semakin meningkat. Selain gaji pokok itu, anggota DPR selama ini juga mendapat sejumlah tunjangan yang nilainya melebihi gaji pokok tersebut. 

Rinciannya, tunjangan istri Rp 420.000 (10 persen dari gaji pokok), tunjangan anak (2 anak dan tiap anak dapat 2 persen dari gaji pokok) Rp 168.000, uang sidang/paket Rp 2 juta, tunjangan jabatan Rp 9,7 juta, tunjangan beras (untuk 4 orang, masing-masing dapat 10 kilogram) 
Rp 198.000, dan tunjangan PPH Pasal 21 Rp 1,729 juta. 

Untuk dana pensiun bagi anggota Dewan yang berhenti sebelum masa tugasnya selesai, baik karena cuti maupun diganti, Sekretariat Jenderal akan melihat terlebih dulu alasan penggantian itu. 

"Apakah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat. Jika dengan hormat, maka akan mendapatkan dana pensiun," kata Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti, beberapa waktu lalu.

Referensi : Kompas.com

POLITIK PRAGMATIS ANAK MUDA


Saat ini ada kecenderungan anak-anak muda yang terjun ke dunia politik menjadi semakin pragmatis.

Mereka dengan mudah pindah dari satu partai politik ke partai lainnya, yang ideologi dan orientasi politiknya berbeda-beda. Hal itu dilakukan semata-mata untuk meraih kekuasaan atau mendapatkan sumber-sumber ekonomi. Tak jarang, mereka bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara ideologi atau orientasi politik berseberangan, bahkan berlawanan. Mereka tak memiliki visi tentang kemaslahatan bersama yang bisa dicapai melalui politik, tapi berkutat dengan kepentingan pribadi dan menggunakan politik sebagai kendaraan untuk mencapainya.

Apa yang salah dengan generasi muda kita? Ada yang berpandangan hal itu berkaitan dengan moralitas mereka yang merupakan generasi apolitis bentukan Orde Baru. Ada pula yang melihat ketiadaan musuh bersama sebagai penyebabnya. Dua hal ini membuat anak muda jadi agnoistik secara politik. Mereka kehilangan moralitas, pegangan nilai, idealisme, yang dapat menjadi panduan dalam berpolitik.

Dua pandangan tersebut ada benarnya, tetapi mengabaikan kondisi-kondisi struktural yang membentuk moralitas politik pragmatis itu. Kondisi-kondisi struktural itu adalah lapangan kerja yang minim dan sistem politik yang semakin terbuka dan kompetitif, yang berlandaskan pada uang dan dukungan massa.

Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang tinggi tidak dibarengi ketersediaan lapangan kerja memadai. Sektor pertanian tidak cukup menarik bagi anak muda. Salah satu penyebabnya karena sektor ini dianggap tidak mampu menghasilkan cukup uang untuk membiayai gaya hidup mereka yang kian konsumtif. Banyak anak muda kemudian melirik politik sebagai sumber penghasilan karena sektor ini menjanjikan kekuasaan yang dapat digunakan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi.

Di antara anak-anak muda itu ada yang bekerja serabutan sambil berpolitik. Ada pula yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada politik.

Tata ulang sistem politik

Biasanya mereka mengawali karier dengan menjalankan berbagai pekerjaan yang disediakan oleh sistem politik: tim sukses untuk kandidat yang bersaing dalam meraih posisi legislatif atau jabatan publik, broker politik, broker proyek-proyek pemerintah, atau sekadar ikut aneka demonstrasi demi menekan pihak lawan. Pekerjaan-pekerjaan semacam ini dianggap sebagai batu loncatan menuju karier politik yang lebih tinggi: anggota legislatif atau pejabat publik.

Bagi mereka yang sepenuhnya menggantungkan hidup pada politik, berbagai cara harus dilakukan agar tetap ada di dalamnya. Berpindah dari satu partai ke partai lain atau bekerja sama dengan pihak yang orientasi politik dan ideologinya berbeda dianggap hal biasa. Itu persoalan taktik, bukan masalah etik. Sistem politik yang bebas dan terbuka, dengan berbasiskan pada kekuatan uang dan massa, juga memberikan ruang bagi terjadinya praktik-praktik politik pragmatis di kalangan anak muda. Dalam konteks ini, sepanjang dapat memberikan dukungan finansial atau menambah kekuatan massa demi memenangi kompetisi untuk menjamin kepentingan pribadi, ideologi atau orientasi politik jadi nomor kesekian. Anak muda yang masuk ke dunia politik terjebak logika seperti ini.

Dengan berbagai permasalahan dalam struktur ekonomi dan politik tersebut, perlu dipikirkan solusi yang tepat. Jika permasalahannya adalah kesulitan anak muda memperoleh pekerjaan yang layak, solusinya tentu meningkatkan keterserapan untuk masuk ke dalam sektor pekerjaan formal. Program padat karya bisa menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah pengangguran. Penduduk usia muda perlu diprioritaskan dalam program ini sebab sebagian besar pengangguran berada pada usia ini.

Aturan-aturan main yang ada dalam sistem politik perlu ditata ulang. Nilai, ideologi, visi-misi yang mendorong seseorang untuk terjun ke dunia politik serta konsistensinya dalam memperjuangkan ketiga hal itu perlu untuk dijadikan faktor penting dalam perekrutan kader politik.

Pendidikan politik juga diperlukan untuk mengajarkan kepada generasi muda tentang hakikat politik sebagai kendaraan untuk mencapai kebajikan bersama. Pembelajaran semacam ini perlu dilakukan sejak dini melalui metode pembelajaran yang membumi agar dapat membentuk perilaku politik yang tidak pragmatis. Sekolah tentu saja menjadi medium paling tepat bagi pendidikan politik semacam ini.

Referensi : Kompas.com

DANA PENSIUN UNTUK KORUPTOR PERSEKONGKOLAN MEMALUKAN

JAKARTA, KOMPAS.com — Aturan pemberian dana pensiun untuk mantan anggota Dewan didesak untuk direvisi. Dana pensiun itu dinilai sangat memalukan karena bisa semakin merusak citra dan kehormatan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Pasalnya, anggota Dewan yang terbukti terlibat korupsi bisa menikmati dana pensiun.
"Menurut saya itu sangat aneh kalau betul terjadi karena mereka berhenti sebagai anggota DPR bukan karena pensiun, melainkan karena kasus korupsi. Tidak seharusnya mereka menerima dana pensiun," ujar Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang, saat dihubungi pada Kamis (7/11/2013).
Menurut Sebastian, alasan anggota Dewan yang lebih dulu mengundurkan diri sebelum dipecat dari DPR tidak dapat diterima logika. Selain tindakannya sudah merusak institusi DPR, mereka juga berusaha mengakali pensiun dini agar mendapat dana pensiun.
"Kalau ini terjadi dan ditolerir oleh DPR, ini bagian dari persekongkolan yang memalukan dan ini tidak bisa dibiarkan," ucap Sebastian.
Ia mendesak pimpinan DPR segera memanggil pihak Sekretariat Jenderal DPR untuk meminta penjelasan mengenai pemberian dana pensiun kepada mereka yang terlibat korupsi. Perlu dicari tahu siapa saja orang yang menerima dan apakah sudah sesuai aturan. Jika ternyata benar ada pemberian dana pensiun tersebut, Sebastian meminta Sekjen DPR diberikan tindakan.  
Sebastian berpendapat, perubahan terhadap UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait dana pensiun ini belum perlu dilakukan. Pasalnya, tidak ada kesalahan dalam aturan tersebut. Yang menjadi masalah adalah ulah para koruptor yang berusaha mengakali untuk mendapat dana pensiun.
Dana pensiun
Para anggota DPR yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi ternyata masih mendapatkan dana pensiun. Dana pensiun itu didapat jika mereka diganti atau mengundurkan diri.
”Kalau seseorang diberhentikan tidak dengan hormat, atau tersangkut pelanggaran etik berat, korupsi, maka tidak dapat dana pensiun. Tapi kalau mengundurkan diri, tetap dapat dana pensiun. Tapi yang jadi masalah adalah anggota DPR terlibat etika berat, diproses di BK sambil menunggu vonis, yang bersangkutan mundur, tetap dapat,” kata Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) Siswono Yudo Husodo.
Hingga kini, Siswono mengaku ada tujuh anggota Dewan yang terlibat kasus korupsi dan masih menerima dana pensiun. Mereka mendapat dana pensiun karena memilih mundur sebelum ada sanksi yang dijatuhkan oleh BK ataupun fraksinya.
Siapa saja mereka? ”Nazaruddin dan Wa Ode. Sisanya, enggak enak saya,” ungkap Siswono.
Dana pensiun bagi anggota Dewan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Selain itu, uang pensiun tersebut juga diberikan kepada anggota Dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Hal tersebut diatur dalam UU MPR DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75 persen dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR.
Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan seorang anggota DPR. Untuk dana pensiun bagi anggota Dewan yang berhenti sebelum masa tugasnya selesai, baik karena cuti maupun diganti, Sekretariat Jenderal akan melihat terlebih dulu alasan penggantian itu.
Referensi : Kompas.com

BK DPR : KORUPSI TAK PERLU DAPAT DANA PENSIUN

JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat mendukung adanya pengetatan pemberian dana pensiun bagi mantan Anggota DPR. Perlu ada pengecualian dalam pemberian dana pensiun itu sehingga bisa memenuhi harapan keadilan masyarakat. Demikian disampaikan anggota BK dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Ali Maschan Moesa saat dihubungi Kamis (7/11/2013).
“Kami sebenarnya hanya mengikuti aturan dan undang-undang yang ada. Tapi namanya orang kadang kami mau memutuskan, dia sudah mundur. Jadi saya kira perlu ini diberikan rambu-rambu dalam pemberian dana pensiun,” ujar Ali. 

Ali menuturkan aturan pemberian dana pensiun perlu diperketat dengan memberikan pengecualian seperti tidak memberikan dana pensiun kepada anggota DPR yang mundur karena korupsi atau kasus tidak terpuji lainnya. 

“Di dalam undang-undang kan bisa diberikan pengecualian. Kalau memang mereka mundur karena kasus korupsi, tidak perlu ada dana pensiun,” tutur Ali. 

Saat ini, lanjutnya, Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD sedang direvisi. Ali mengimbau agar lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan masukan terkait pengetatan pemberian dana pensiun. Ali mengaku tidak mengetahui apakah dana pensiun termasuk salah satu klausul yang akan direvisi atau tidak. 

“Tapi kalau ada masukan dari masyarakat, kami welcome,” katanya. 

Dana pensiun

Para anggota DPR yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi ternyata masih mendapatkan dana pensiun. Dana pensiun itu didapat jika mereka diganti atau mengundurkan diri. Para mantan anggota dewan koruptor yang masih menerima dana pensiun itu yakni Muhammad Nazaruddin, Asad Syam (Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati (Partai Amanat Nasional), dan Panda Nababan (PDI Perjuangan). 

Tak hanya mereka yang terkena kasus korupsi, anggota dewan yang mundur karena persoalan etika pun mendapat dana pensiun. Misalnya, mantan Ketua Fraksi Partai Gerindra Widjono Hardjanto yang hampir mendapat sanksi pemberhentian dari BK DPR karena masalah absensi dan politisi PKS Arifinto yang mundur setelah tertangkap kamera menonton video porno saat rapat paripurna. 

Dana pensiun bagi anggota Dewan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara. Selain itu, uang pensiun tersebut juga diberikan kepada anggota Dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Hal tersebut diatur dalam UU MPR DPR, DPD, dan DPRD (MD3). 

Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75 persen dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR. Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan seorang anggota DPR. Untuk dana pensiun bagi anggota Dewan yang berhenti sebelum masa tugasnya selesai, baik karena cuti maupun diganti, Sekretariat Jenderal akan melihat terlebih dulu alasan penggantian itu. 

“Jika diberhentikan tidak hormat baru tidak mendapat dana pensiun,” ujar Sekretaris Jenderal Winantuningtyastiti.

Referensi : Kompas.com