Sabtu, 28 Desember 2013

KORUPSI DAN JANJI PALSU SANGAT DIBENCI


KOMPAS.com -  Kata korupsi dan janji palsu terasa begitu melekat. Dua kata itu menjadi jawaban spontan ketika generasi muda sekarang ditanya, ”Apa persepsimu tentang anggota DPR?”

Dua kata itu menjadi keprihatinan dalam perjalanan persiapan Pemilu 2014 pada sebuah diskusi tertutup yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa hari lalu.

Masalahnya, sekitar 60 juta pemilih pemula, entah mereka yang tergolong muda dan pernah mengikuti pada periode lima tahunan sebelumnya atau baru pertama kalinya, akan berperan serta menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2014.

Potret buram jawaban ”korupsi” dan ”janji palsu” tersebut ditekankan oleh pengamat politik J Kristiadi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Tantangan terbesar Pemilu 2014 adalah mengajak generasi muda untuk ikut menentukan wakil rakyat maupun pemimpin bangsa ini dengan menggunakan hak pilihnya.

”Kemenangan dalam setiap pemilu harus dilihat hasilnya. Mulai dari menghasilkan elite, kekuatan politik, hingga kebijakan yang menguntungkan rakyat. Bukan keuntungan sesaat pada saat kampanye,” ujar Kristiadi.

Apabila dimaknai secara positif jawaban-jawaban generasi muda tersebut, sebagian rakyat, terutama kalangan muda, sesungguhnya belakangan ini sudah mulai terjun langsung ke dunia politik untuk memberi warna perubahan. Mereka sudah jenuh terhadap realitas tertangkapnya pelaku-pelaku suap dan koruptor, serta muak dengan janji-janji palsu calon anggota legislatif maupun calon presiden terdahulu.

Namun, jika dimaknai secara negatif, bermunculanlah sikap apatis dan pesimistis pemilih pemula terhadap masa depan bangsa ini.

”Buat apa mengikuti proses pencoblosan di bilik suara kalau hasilnya tidak memengaruhi kehidupan pemilih pemula? Hasilnya, bahasa orang mudanya, pemilu enggak ngefek bagi kita,” kata Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Ada kekhawatiran, sebagaimana diungkapkan Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri Lutfi, militansi yang tinggi dari kalangan mahasiswa bakal luluh lantak.

”Keputusan memilih untuk tidak memilih kini juga dipandang menjadi sikap keren bagi kaum muda di era keterbukaan demokrasi. Butuh opini publik yang lebih baik untuk mendorong kaum muda memanfaatkan hak politiknya,” ujar Lutfi.

Banyak persoalan

Persoalan lain, peta permasalahan Pemilu 2014 terungkap begitu banyak. Dari setiap tahapan awal pemilu, kini masalah daftar pemilih tetap (DPT) sedang mengemuka. Namun, ada apresiasi atas kemauan politik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terus berupaya memutakhirkan data.

Tak sedikit, relasi KPU dan Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, juga menjadi salah satu masalah. Begitu pula problematik anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 yang sangat rawan, mulai dari persetujuan besaran anggarannya yang mencapai Rp 17 triliun hingga pencairan yang dikhawatirkan terlambat dilakukan pemerintah. Peta kerawanan konflik dan keamanan distribusi logistik pun menjadi kekhawatiran.

Tak heran, sempat terungkap dalam diskusi tentang cuplikan kisah kampanye Ganjar Pranowo yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Dalam blusukan ke sebuah pasar di Semarang, Ganjar sempat berjabatan tangan dengan banyak pedagang. Lalu kasak-kusuk disebut, jabatan tangannya tanpa disertai grenjelan atau uang sedikit pun sebagai salam tempel.

Namun, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut dengan cerdas membuka wawasan rakyat yang diharapkan menjadi pemilihnya. Bisa saja, misalnya, saat itu Ganjar memberikan uang Rp 100.000 kepada setiap pedagang. Tentu, uang ratusan juta rupiah sudah digulirkan. Lalu, suara rakyat direbut untuk menduduki kursi jabatan gubernur. Namun, sejak saat itulah hubungan pemimpin dan rakyatnya putus.

Kelak, jangan lagi berharap ada anggaran pemeliharaan dan penataan pasar yang lebih baik karena semua yang diharapkan rakyat sudah dibayar di muka saat itu.

Pemilih kian rasional. Calon anggota legislatif maupun calon presiden bersainglah secara cerdas. Pilihan bentuk kampanye cerdas berada di setiap caleg dan capres.

Ingatlah, janji-janji palsu sangat dibenci pemilih. Ingat pula, calon-calon yang pernah korupsi pun sangat mungkin terlacak oleh pemilih. (Stefanus Osa)

Referensi : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar