Sabtu, 28 Desember 2013

SUDAH SAATNYA KORUPTOR DISENGSARAKAN


Semakin hari korupsi bukannya berkurang, tetapi malah semakin mengkhawatirkan. Bahkan, korupsi semakin menggila dan menyebar di semua lini: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ancaman hukuman penjara tak membuat jera para koruptor. Berbagai kasus korupsi yang diungkapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum membuat kapok para koruptor. Usulan memiskinkan koruptor pun semakin menguat.

Hari Antikorupsi Internasional diperingati setiap 9 Desember. Momentum ini menjadi ajang bagi masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk mengingatkan pemerintah bahwa pemberantasan korupsi masih compang-camping.

Sebagai gambaran, penilaian terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dilihat dari angka Indeks Korupsi Indonesia lima tahun terakhir. Pada 2011, dari 182 negara yang dievaluasi, Indonesia berada di peringkat ke-100 dengan angka indeks 3 dari skala 0 yang terendah dan 10 yang tertinggi. Artinya, angka korupsi di Indonesia tinggi.

Begitu juga tahun 2012 peringkat Indonesia ada di angka 118 dari 176 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia, angka indeks Indonesia di bawah 5.

Salah satu kelompok yang menggelar aksi keprihatinan pada kasus korupsi adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik se-Indonesia (FKMPI). Puluhan mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta yang tergabung dalam FKMPI bersiap long march di tengah riuhnya car free day di Jalan Sudirman, Jakarta.

Mereka ingin membangun harapan masyarakat untuk pemberantasan korupsi. Mereka juga mengajak masyarakat tak bersikap pesimistis, apalagi apatis, dengan banyaknya kasus korupsi.

Koordinator aksi, Ibnu Attoilah, mengungkapkan, pihaknya membuat pohon harapan untuk menampung harapan masyarakat bagi Indonesia yang bebas korupsi.

”Kami ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai tindakan-tindakan kecil yang bisa menumbuhkan korupsi, seperti menyontek, berbuat curang, dan melanggar aturan,” ujar mahasiswa Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Jakarta ini.

Mengenai hukuman yang pantas bagi koruptor, menurut Ibnu, adalah memiskinkan harta koruptor. ”Semua harta yang dimiliki koruptor dan keluarganya harus disita negara. Kalau perlu KPK mencanangkan hukuman yang lebih berat, seperti hukuman mati atau potong tangan. Kita bisa mencontoh China yang menyiapkan peti mati bagi koruptor,” ujarnya.

Ibnu menambahkan, DPR sebagai pembuat undang-undang sepertinya takut membuat aturan hukuman korupsi yang lebih berat. Padahal, di tangan merekalah masyarakat berharap ada peraturan yang tegas.

Sanksi sosial

Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, Rahadian Riza Modana, mengatakan, tak cukup hanya dimiskinkan, koruptor juga harus mendapat sanksi sosial untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

”Misalnya koruptor dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan sekitar. Masyarakat juga harus menyoroti gaya hidup keluarganya, kalau perlu ada beberapa akses publik yang dibatasi bagi mereka,” katanya.

Kalau kedua hukuman itu bisa diberlakukan dengan tegas, pasti banyak orang akan berpikir ulang untuk korupsi. ”Masalah utama adalah hukuman bagi koruptor tidak memberatkan. Orang korupsi miliaran rupiah hanya dihukum paling lama 15 tahun, dengan proses peradilan yang panjang. Mereka malah nyaman di penjara, bisa mendapatkan fasilitas yang mewah karena mereka bisa ’membelinya’,” katanya.

Hukuman tak maksimal

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menyebutkan, penyelenggara negara kita tidak konsisten. ”Di satu sisi menetapkan korupsi sebagai extra ordinary crime sekaligus musuh terbesar bangsa ini. Namun, sanksi bagi koruptor begitu ringan. Seorang perampok yang membunuh korbannya bisa dihukum mati, tetapi korupsi yang menyebabkan terbunuhnya jutaan manusia tidak dikenai hukuman maksimal, yakni hukuman mati.”

Tanpa hukuman mati, menurut Said, koruptor bisa bebas dan mengulangi lagi korupsinya. Bila kesalahannya tidak signifikan pada kerugian negara, mungkin hukumannya dengan memiskinkan harta koruptor. Untuk memberikan hukuman maksimal kepada koruptor tak cukup hanya dilakukan oleh KPK yang hanya melaksanakan peraturan.

”Pada banyak kasus KPK dan Pengadilan Tipikor sudah cukup ’ganas’ terhadap koruptor walaupun Pengadilan Tipikor Bandung pernah lembek dengan memutus bebas Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ru’yat. Jadi, sudah sepatutnya kita menyatakan sikap belum puas kepada KPK dan Pengadilan Tipikor karena selalu saja ditemukan kasus-kasus yang diancam dengan hukuman ala kadarnya, bahkan dibebaskan,” kata dia.

Apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung yang memperberat hukuman mantan politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Majelis hakim kasasi di MA memperberat hukuman Angie, panggilannya, dari 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta menjadi 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta. Tak sebatas mengembalikan kepada tuntutan jaksa, majelis hakim kasasi menjatuhkan pula pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS.

”Dalam catatan kami, baru kasus Angie yang paling sukses di MA. Itu lantaran hakim agung yang memeriksanya orang bersih. Namun, dalam banyak kasus yang lain, MA justru memvonis bebas, misalnya pada kasus Wakil Bupati Jember yang diputus bebas oleh hakim agung,” ujarnya.

Di sisi lain, KPK merasa penuntutan hukuman bagi koruptor sudah maksimal. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, KPK sedang mengembangkan upaya memiskinkan koruptor, salah satunya mendesain alat untuk memiskinkan koruptor yang selama ini hanya dihitung kerugian negara, tetapi tidak menghitung dampak kejahatan korupsinya.

”Misalnya mengenai penebangan hutan liar dan merusak hutan, maka dia harus bertanggung jawab mengganti nilai kerugian, termasuk berapa dampak kerugian akibat hutan rusak. Jadi, dia harus mengganti pohon-pohon yang sudah ditebang,” ujarnya.

Menurut Bambang, KPK selama ini sudah menerapkan tuntutan hukuman yang maksimal meski kemudian keputusan ada di tangan Pengadilan Tipikor. KPK sedang berusaha mengintegrasikan isu terkait pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi.

”Kejahatan korupsi sama dengan pelanggaran HAM. KPK juga sedang mendekati Pengadilan Tipikor supaya ada sanksi lain bagi koruptor, yaitu hak politiknya dicabut,” kata Bambang.

Desakan masyarakat untuk memiskinkan koruptor semakin menguat. Semoga saja hukuman yang lebih berat bisa membuat orang jera melakukan korupsi. (SUSIE BERINDRA)

Referensi : Kompas.com

1 komentar:

  1. Saya Achmad Halima Saya ingin menyaksikan karya bagus ALLAH dalam hidup saya untuk orang-orang saya yang tinggal di sini di Indonesia, Asia dan di beberapa negara di seluruh dunia.
     Saat ini saya tinggal di Indonesia. Saya seorang Janda dengan empat anak dan saya terjebak dalam situasi keuangan pada MARET 2017 dan saya perlu membiayai kembali dan membayar tagihan saya,
    Saya adalah korban penipuan pemberi kredit 3-kredit, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang yang saya berutang, saya dibebaskan dari penjara dan saya bertemu dengan seorang teman, yang saya jelaskan mengenai situasi saya dan kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dapat diandalkan.
    Bagi orang-orang yang mencari pinjaman? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman di internet penipuan di sini, tapi mereka masih sangat nyata di perusahaan pinjaman palsu.
     Saya mendapat pinjaman dari ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM sebesar Rp900.000.000 dengan sangat mudah dalam waktu 24 jam setelah saya melamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus ALLAH melalui ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya saran jika anda membutuhkan pinjaman silahkan hubungi ALEXANDER ROBERT LOAN FIRM. hubungi mereka melalui email:. (alexanderrobertloan@gmail.com)
    Anda juga bisa menghubungi saya melalui email saya di (achmadhalima@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman.

    BalasHapus