DENGAN maraknya korupsi di Indonesia yang sampai tanpa batas, baik batas jumlah uang yang dikorupsi maupun batas moral orang yang melakukan korupsi, kita ramai-ramai mencari akal untuk memberantasnya. Di antaranya dengan cara membuat para pelaku korupsi menjadi jera.
Agar menjadi jera, antara lain, pelaku itu harus dibuat malu di lingkungan sosialnya, misalnya dengan menyuruh para tersangkanya mengenakan baju tahanan apabila ditahan. Cara lain adalah dengan memiskinkan terpidana korupsi. Dan, yang terjadi akhir- akhir ini adalah apa yang dilakukan MA dengan menjatuhkan hukuman berat bagi terpidana Angelina Sondakh atau yang biasa dipanggil Angie.
Masyarakat bersorak-sorai menyambut keputusan MA itu dan hakim agung yang memutuskan perkaranya disambut bak pahlawan yang berani dalam ikut serta memperjuangkan pemberantasan korupsi. Putusannya akan dijadikan yurisprudensi agar hakim-hakim bawahan mengambil pedoman pada putusan tersebut.
Saya seorang yang berjiwa antikorupsi. Tapi nanti dulu, apabila saya ditanya tentang apresiasi saya terhadap putusan itu. Saya masih akan mempertanyakan apakah putusan itu sudah mempertimbangkan selengkap- lengkapnya hal-hal yang meliputi tindak pidana itu. Misalnya bahwa hasil korupsi yang dilakukan terpidana itu telah dibagi-bagikan kepada teman-teman sesamanya dan bahwa teman-temannya masih bebas berkeliaran.
Sudah tepatkah hukuman 12 tahun itu. Memang bagi seorang hakim, soal ”ukuran pemidanaan” itu adalah yang paling sulit, tapi mengapa 12 tahun dan tidak 10 tahun atau 15 tahun? Kalau 12 tahun dianggap sudah cukup untuk membuat orang jera untuk berbuat korupsi, hal itu, menurut pendapat saya, masih merupakan hal yang perlu dibuktikan terlebih dahulu dengan melihat perkembangan selanjutnya. Belum tentu habis ini korupsi akan menurun jumlahnya. Ataukah, hukuman 12 tahun itu sekadar untuk menambah berat hukuman yang dijatuhkan pengadilan judex facti?
Rasa keadilan
Kalau mengenai ada hakim agung yang menambah hukuman kemudian lalu dia disanjung sebagai hakim yang berani dan dianggap pahlawan antikorupsi, hal itu menurut pendapat saya adalah ”salah besar”. Sebab, menjatuhkan putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman itu adalah tugas hakim berdasarkan rasa keadilannya dan bukan untuk tujuan tertentu.
Tugas pokok seorang hakim adalah demikian, yakni menghukum terdakwa kalau ternyata terdakwa terbukti bersalah atau membebaskan terdakwa apabila ternyata terdakwa tidak terbukti bersalah. Dan, bahwa seorang hakim harus mempunyai sifat-sifat adil, jujur, berani, itu memang suatu conditio sine qua non bagi seorang hakim. Dan, apabila ada seorang hakim yang membebaskan terdakwa karena dianggap kesalahannya tidak terbukti, janganlah lalu dia dianggap sebagai hakim yang pengecut dan yang ”prokorupsi”.
Sekarang ini masih banyak hakim yang mempunyai sifat-sifat demikian, terutama di daerah-daerah. Jadi, tidak perlu hakim agung yang menambah hukuman dianggap pemberani dan disanjung!
Bagi saya, cara untuk membuat para koruptor menjadi jera adalah dengan menjatuhkan hukuman mati. Kalau belum ada undang-undang yang mengatur hal itu, buatlah segera undang- undangnya. Seorang saja pelaku korupsi dihukum mati dan dieksekusi, saya yakin korupsi di negeri ini akan segera lenyap. Bukannya saya antimasalah HAM, melainkan koruptor adalah sampah masyarakat yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Mudah-mudahan tulisan ini tidak membuat orang tersinggung. Saya hanya ingin membantu membuat pencerahan agar masyarakat tidak keliru menanggapi suatu masalah.
*Adi Andojo Soetjipto, Mantan Ketua Muda MA
Referensi : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar